Victor Silaen
(www.victorsilaen.com)
MARI
bertanya jujur kepada diri sendiri: apakah kita merasa diuntungkan
dengan keberadaan sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) yang kerap
beraksi anarkis di tengah masyarakat? Kalau tidak, maka pertanyaan
berikut ini patut kita sampaikan kepada Pemerintah dan Polri: mengapa
setengah hati membubarkan ormas-ormas anarkistis itu? Tidakkah perintah
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 9 Februari 2011, di Kupang,
saat memperingati Hari Pers Nasional, begitu gamblang: agar mencari
jalan legal untuk membubarkan ormas-ormas yang sering menimbulkan
keresahan? Kepada siapa lagi perintah itu ditujukan kalau bukan para
bawahannya di kabinet, termasuk Kapolri? Tapi, mengapa hingga setahun
berlalu tak satu pun ormas anarkistis itu yang sudah dibubarkan?
Inilah
wajah para pelaksana pemerintahan Indonesia dewasa ini: setengah hati
dalam bertindak tegas terhadap pihak-pihak yang seharusnya disikapi
secara tegas. Yang memprihatinkan, para pejabat tinggi dan orang-orang
penting itu kerap berdalih terhalang oleh peraturan perundang-undangan
yang ada, seolah Indonesia sebentuk negara hukum yang miskin hukum atau
hukumnya usang.
Terkait itu Presiden SBY sendiri
mestinya mengintrospeksi diri: mengapa perintahnya setahun silam lebih
itu tak ditindaklanjuti secara konkret oleh para bawahannya? Adakah dia
kurang berwibawa di mata mereka, atau dia sendiri kurang memperlihatkan
keteladanan konkret tentang ketegasan dalam memimpin?
Sekarang
coba cermati Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Pada 11 Februari lalu
ia mengatakan telah mengeluarkan teguran kedua kepada ormas Front
Pembela Islam (FPI) terkait tindakan anarkis mereka dengan memecahkan
kaca kantor Kementerian Dalam Negeri, di Jakarta, 12 Januari lalu.
Menurut Menteri Gamawan, langkah berikutnya, kalau FPI masih melakukan
hal yang sama, terus-menerus mengganggu keamanan dan ketertiban
masyarakat, maka pihaknya akan mengambil tindakan pembekuan ormas itu.
Jika setelah dibekukan ternyata masih juga melakukan pelanggaran, maka
tindakan selanjutnya adalah pembubaran ormas.
Pertanyaannya,
mengapa Menteri Gamawan harus menunggu lagi? Seakan tak ada sense of
crisis di dalam dirinya. Berdasarkan data Polri, bukankah selama ini FPI
sudah berkali-kali melakukan pelanggaran? Bahkan secara tegas, 17
Februari lalu, Jubir Polri Saud Usman Nasution menyatakan bahwa FPI
paling banyak melakukan aksi anarkistis selama dua tahun terakhir. Aksi
anarkistis yang mengatasnamakan FPI tahun 2010 tercatat sebanyak 29
kasus dan tahun 2011 sebanyak lima kasus. Dulu (31 Agustus 2010),
Kapolri Bambang Hendarso Danuri (BHD) sudah menegaskan bahwa ormas-ormas
pelaku kekerasan itu harus dibekukan. Menurut BHD, selain FPI,
ormas-ormas yang kerap beraksi anarkis adalah Forum Betawi Rempug (FBR)
dan Barisan Muda Betawi. Catatan Polri, sepanjang 2007 hingga 2010,
sedikitnya 107 aksi kekerasan dilakukan oleh ketiga ormas tersebut. Atas
dasar itu kita patut bertanya, apakah data yang sudah terdokumentasi
itu dapat diabaikan begitu saja? Bukankah yang disoroti dulu (era
Kapolri BHD) dan sekarang (era Kapolri Timur Pradopo) ormasnya juga
sama?
Di sisi lain, Ketua Umum FPI Habib Rizieq
sendiri sudah melempar “tantangan”, bahwa FPI siap dibekukan jika memang
terbukti melakukan tindakan yang dianggap anarkistis dan kerap
meresahkan. ”Kami tidak merasa kebal dengan hukum. Jika kami bersalah,
kami siap menerima teguran, dibekukan, bahkan dibubarkan,” kata Rizieq
dalam pertemuannya dengan Menteri Agama Suryadharma Ali di Kantor
Kementerian Agama, Jakarta, 17 Februari lalu. Heran bukan, alih-alih
pemerintah dan aparat penegak hukum, kok malah ormas yang sudah kerap
melakukan aksi anarkistis itu yang bersikap tegas.
Kita
tak dapat menyangkal bahwa FPI selama ini begitu digdaya memerankan
diri sebagai kaum vigilante di tengah masyarakat. Vigilante itu sendiri
berarti warga sipil yang kerap melakukan aksi penegakan hukum menurut
versinya sendiri dan dengan caranya sendiri. Dalam beraksi, mereka
biasanya berkelompok, dengan jumlah anggota yang relatif banyak.
Kekuatan massa itulah yang membuat mereka menjadi berani dan bahkan
garang ketika beraksi. Norma-norma masyarakat, bahkan hukum positif,
dengan mudahnya mereka langgar.
Atas dasar itu
maka keberadaan kaum vigilante dapat disimpulkan sebagai masalah sosial
sekaligus duri dalam penegakan hukum di negara hukum ini. Pertama,
karena mereka bukanlah orang-orang yang berotoritas dalam menafsirkan
hukum. Kedua, dan ini yang utama, karena mereka bukanlah aparat penegak
hukum yang diberi otoritas
secara sah oleh negara
untuk melakukan aksi-aksi penegakan hukum. Atas dasar itu maka kita
harus memandangnya begini: bahwa di saat-saat kaum vigilante itu
beraksi, otoritas polisi sebenarnya telah dicuri. Di saat-saat itu pula
sebenarnya kewibawaan polisi
telah dilecehkan.
Dalam
perspektif politik, salah satu fungsi negara adalah melaksanakan
penertiban (law and order). Untuk itu maka negara memiliki kewenangan
untuk memaksa, juga monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah
dalam suatu wilayah (Weber, 1958). Itu berarti, jika dalam realitasnya
negara tidak melakukan pencegahan terhadap ormas-ormas yang kerap
beraksi anarkistis, maka sesungguhnya negara telah melakukan kejahatan.
Itulah yang disebut kejahatan melalui tindakan pembiaran (crime by
omission).
Berdasarkan itu maka selayaknyalah
jika kaum vigilante itu disikapi secara koersif. Tak perlu mencari-cari
alasan bahwa pembekuan, bahkan pembubaran, ormas-ormas anarkistis itu
terhambat UU Ormas No. 8/1985. Bukankah UU itu sendiri mengisyaratkan
bahwa setiap ormas harus menjunjung tinggi Pancasila? Jadi, jika sebuah
ormas sudah secara terang-benderang menunjukkan diri mereka
pro-kekerasan, tidakkah itu sebenarnya dapat dianggap bertentangan
dengan Pancasila dan karenanya dapat diberi sanksi tegas?
Tak
pelak, Pemerintah dan Polri harus berani melakukan terobosan hukum jika
tak ingin masalah vigilante ini berlarut-larut. Tak perlu menunggu
revisi UU Ormas. Apalagi, menurut staf ahli Badan Legislasi DPR Abdul
Kholik, desakan kepada pemerintah untuk merevisi UU tersebut sebenarnya
sudah sejak 17 tahun lalu. “Tapi tidak ada penyelesaian, sampai akhirnya
DPR memutuskan untuk menyusun sendiri revisi tersebut.”
Harus
diingat, salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat kontrol sosial.
Itu berarti, hukum yang tak pernah sempurna sebagai tata peraturan itu
harus mampu menyesuaikan diri terhadap realitas sosial yang dinamis. Di
situlah terkandung sifat fleksibilitas hukum, yang berarti
kebijaksanaan. Sedangkan hukum itu sendiri adalah kebijakan. Maka, agar
kebijakan tersebut senantiasa berdampak positif bagi masyarakat,
pelaksanaan hukum haruslah disertai dengan kebijaksanaan.
Sebagai contoh begini. Jika Anda berkendara di jalan tol selepas Pintu
tol Karang Tengah menuju Slipi, Jakarta Barat. Di bilangan Meruya,
setiap Senin sampai Jumat pada jam-jam sibuk di pagi hari, Anda boleh
berbelok ke kanan lalu masuk ke jalan dengan arus yang berlawanan
(contra flow). Jadi, khusus pada satu lajur itu, setiap pengendara
diperbolehkan berjalan melawan arus. Tapi, keistimewaan itu hanya
berlaku pada waktu-waktu tertentu yang dianggap sibuk saja. Itu pun
hanya berlaku di pagi hari (di sore hari contra flow tidak berlaku).
Siapakah
yang membuat peraturan “aneh” itu? Polisi. Tujuannya, untuk mengurangi
tingkat kemacetan di sepanjang jalan dari Meruya menuju Slipi. Itulah
kebijaksanaan, yang dilaksanakan secara fleksibel demi kebaikan bersama.
Jadi, meski pada hari Senin sampai Jumat dan di pagi hari, namun jika
saat itu sedang liburan, kebijaksanaan tersebut dengan sendirinya tak
diperlukan.
Jelaslah, yang diperlukan adalah
keberanian dan kreativitas untuk mencari terobosan hukum. Jika Polri
bisa, Mendagri pun harus bisa. Bukankah pada 3 November 2009, ketika
sedang membahas RUU Keistimewaan Yogyakarta, Gamawan Fauzi pernah
berkata: “Kita bisa menerobos hukum.” Kalau begitu maka dalam konteks
pembekuan dan pembubaran ormas-ormas anarkistis, tidakkah kita juga bisa
melakukan hal yang sama secepatnya?
Pemerintah
dan Polri mestinya sadar bahwa selama ini masyarakat sudah berupaya
mempertahankan diri dari aksi-aksi kekerasan yang kerap dilakukan
ormas-ormas anarkistis itu. Di balik itu mereka mencatat bahwa negara
dan aparat keamanannya kerap absen dan bahkan melakukan pembiaran.
Namun, kesabaran ada batasnya. Maka, jangan heran jika masyarakat Dayak
di Kalimantan Tengah berunjuk sikap pada 10 sampai 12 Februari lalu.
Ribuan orang turun ke jalan demi menyatakan penolakan mereka terhadap
FPI. Puncaknya, Minggu 12 Februari lalu, dengan mengenakan pakaian adat
dan senjata di tangan mereka bersesakan di Bandara Riwut Cilik siap
menyambut kedatangan empat pemimpin FPI yang sedianya akan menghadiri
pelantikan pengurus organisasi mereka di Palangkaraya.
Dua
hari berselang, di Jakarta, sejumlah aktivis anti-kekerasan berkumpul
di Bundaran Hotel Indonesia untuk mendeklarasikan gerakan “Indonesia
Tanpa FPI”. Lima hari sesudahnya, giliran Riau yang menyerukan penolakan
terhadap ormas-ormas pro-kekerasan itu. “Ormas seharusnya adalah wadah
untuk masyarakat dalam beraspirasi, namun tetap ada batas-batas yang
telah ditentukan. Tidak ada anarkisme yang dibenarkan,” kata Kepala
Kesbangpolinmas Riau Zulkarnain Kadir, di Pekanbaru, Minggu lalu (19/2).
Dia juga mengharapkan kepolisian dapat bertindak tegas terhadap ormas
yang terang-terangan melakukan perbuatan merusak. “Intinya adalah, bila
ada ormas yang bertindak melebihi aturan, maka aparat harus menindaknya
dengan tegas, terlebih menyangkut kepentingan rakyat banyak dan
simbol-simbol negara,” ujarnya.
Ke depan kita
berharap Pemerintah dan Polri sanggup berpikir jernih dan lalu mengambil
langkah-langkah yang tepat untuk menyikapi masalah ini. Jika tidak,
jangan terkejut jika kelak konflik horizontal tak terhindarkan dan hukum
makin tak berwibawa di negara hukum ini.
0 komentar:
Posting Komentar