RADIO ONLINE YUNUS, BERISI LAGU ROHANI
RADIO YUNUS.............
 

Hati-Hati Punya Anak Di Luar Nikah !

An An Sylviana, SH, MBL*
BAPAK Pengasuh yang terhormat, Adik saya laki-laki, telah beristri dan punya 3 orang anak, pernah selingkuh dengan wanita lain.  Menurut pengakuannya, dia dan wanita yang beragama beda dengan adik saya itu melakukan perkawinan siri dan mempunyai satu orang anak laki-laki (± 2 tahun). Sekarang adik laki-laki saya tersebut telah kembali kepada istri dan anak-anaknya, menyesali segala perbuatannya dan sudah rajin ke Gereja. Yang menjadi permasalahan, sekarang, wanita selingkuhannya tersebut menuntut agar anaknya diakui sebagai anak dari adik saya tersebut. Tentu saja keluarga besar kami berkeberatan dan menolak permintaan tersebut. Bagaimana jalan keluarnya, ya Pak ?
Terima Kasih.
Yadi
Jakarta.
Saudara Yadi yang terkasih, telah banyak kasus-kasus seperti yang dialami oleh adik saudara tersebut. Dan selalu menyisakan masalah-masalah hukum yang berkepanjangan dan mengakibatkan disharmoni kehidupan keluarga dan kerap mengakibatkan kehancuran. Tentu saja hal itu jauh dari tujuan semula dari suatu perkawinan, yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Harus diakui, bahwa di Indonesia, saat sekarang ini masih banyak terdapat perkawinan yang hanya mendasarkan pada hukum agama dan kepercayaan, yaitu berpegang pada syarat-syarat sahnya perkawinan menurut ajaran agama atau kepercayaan tertentu, tanpa melakukan pencatatan perkawinan sebagai bentuk jaminan kepastian Negara atas akibat dari suatu perkawinan, sebagaimana yang disyaratkan dalam UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, khususnya pasal 2 ayat 1 dan 2. Kenyataan ini dalam prakteknya jelas merugikan wanita sebagai Istri dan anak-anak yang terlahir dari perkawinan tersebut.
Yang perlu disadari adalah, norma agama atau kepercayaan memang tidak dapat dipaksakan, karena norma agama atau kepercayaan merupakan wilayah keyakinan transendental yang bersifat prifat. Sementara Undang-undang (dalam hal ini UU No. 1/1974), merupakan ketentuan yang dibuat oleh negara sebagai perwujudan kesepakatan warga (masyarakat) dengan negara, sehingga dapat dipaksakan keberlakuannya oleh Negara (Pemerintah).
Sebagai akibatnya, terhadap perkawinan yang dilaksanakan tanpa dicatatkan, negara tidak dapat memberikan perlindungan mengenai status perkawinan, harta gono-gini, waris dan hak-hak lain yang timbul dari sebuah perkawinan, karena untuk membuktikan adalah terlebih dahulu adanya perkawinan antara wanita (istri) dengan suaminya tersebut.
Demikian pula dengan anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan juga memiliki potensi untuk merugikan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Potensi kerugian tersebut adalah terutama tidak diakuinya hubungan anak dengan bapak kandungnya (bapak biologisnya) yang tentunya mengakibatkan tidak dapat dituntutnya kewajiban bapak kandungnya untuk membiayai kebutuhan hidup anak dan hak-hak keperdataan lainnya. Potensi kerugian tersebut jelas terlihat dalam ketentuan pasal 43 ayat (1) UU No. 1/1974 yang menyatakan bahwa: “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Keberadaan pasal tersebut sebenarnya telah menutup kemungkinan bagi anak untuk memiliki hubungan keperdataan dengan bapak kandungnya, dan hal itu merupakan risiko dari perkawinan yang tidak dicatatkan atau perkawinan yang tidak dilaksanakan sesuai dengan UU No. 1/1974.
Namun, kepastian hukum yang demikian itu saat sekarang ini telah terguncangkan dengan adanya putusan yang sangat KONTROVERSI dari Mahkamah Konstitusi (MK), sebagaimana dituangkan dalam putusan perkara No. 46/VIII/2010 tertanggal 13 Pebruari 2012, yang pada pokoknya telah menganulir ketentuan pasal 43 ayat (1) UU No.1 /1974 yang semula berbunyi: “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lainnya menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan, hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, serta dengan laki-laki sebagai ayahnya, yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain, menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Putusan MK tersebut saat sekarang ini menuai KONTROVERSI, dan bahkan telah menimbulkan keresahan ditengah-tengah masyarakat. Beberapa organisasi masyarakat telah meresponnya dengan berbagai tanggapan. Ada yang pro, dan ada yang kontra. Sebagai contoh, MUI yang jelas-jelas menolak, karena bagi MUI, implikasi putusan dalam jangka panjang dapat berdampak pada semakin meluasnya perzinahan.
Demikian juga dengan PP Muslimat NU, mendorong agar dilakukan koordinasi antara Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Agama, Mahkamah Konstitusi, MUI dan ormas Islam untuk mencari jalan keluar yang tepat dalam penataannya.
Dan bahkan, Pengadilan Agama Tigaraksa, Tangerang, Banten, saat sekarang ini masih mempelajari dengan seksama permohonan yang diajukan pedangdut Machica Mochtar agar anaknya diakui sebagai anak mantan Mensekneg Moerdiono.
Perlu juga diingat, bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, (final and binding), artinya, tidak ada peluang menempuh upaya hukum berikutnya, pasca putusan MK tersebut, sebagaimana putusan pengadilan biasa yang masih memungkinkan Banding, Kasasi atau Peninjauan Kembali, karena putusan MK memiliki kekuatan hukum tetap, sejak dibacakan dalam persidangan MK.
Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat.

0 komentar:

Posting Komentar