Lima belas tahun lalu atau 12 Mei 1998, situasi Indonesia, khususnya Ibu
Kota Jakarta sedang genting. Demonstrasi mahasiswa menuntut reformasi
dan pengunduran diri Presiden Soeharto kian membesar tiap harinya. Dan
kita tahu, aksi itu akhirnya melibatkan rakyat dari berbagai lapisan.
Peristiwa
tersebut disiarkan secara luas oleh media massa Indonesia dan
internasional. Salah satu momentum penting yang menjadi titik balik
perjuangan mahasiswa adalah peristiwa yang menewaskan empat mahasiswa
Universitas Trisakti, Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan,
dan Hendrawan Sie.
Beberapa aksi simbolik menandai demonstrasi ini.
Di antaranya penurunan bendera Merah Putih menjadi setengah tiang
sebagai pertanda keprihatinan terhadap kondisi bangsa. Tewasnya keempat
mahasiwa tersebut tidak mematikan semangat rekan mereka lainnya. Justru
sebaliknya, menimbulkan aksi solidaritas seluruh kampus di Indonesia.
Puncak
perjuangan tersebut ketika Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden.
Sayangnya, walaupun sudah berlalu 15 tahun, penuntasan kasus tragedi
Trisakti, dan juga Semanggi I dan Semanggi II tak kunjung selesai.
Kini
m,enginjak 15 tahun sejarah itu dibuka kembali oleh Mahasiswa dan siswi
di Kampus Trisakti Kamis (10/5), melakukan long march ke Gedung DPR/MPR
Jakarta Selatan. Aksi berjalan kaki dimulai dari Kampus Trisakti di
Grogol, Jakarta Barat, menuntut pengusutan Kasus Trisakti.
Massa
mahasiswa diperkirakan berjumlah 5.000 orang sudah berada di depan
Gedung DPR. Selain berjalan kaki, mahasiswa pun menggunakan sejumlah bus
dan kendaraan pribadi. Massa memenuhi ruas jalan raya, dari Jalan
Letnan Jenderal S. Parman Jakarta Barat hingga Jalan Jenderal Gatot
Soebroto, Jakarta Selatan.
Mahasiswa membawa empat tuntutan, agar
pelaku penembakan mesti diusut dan dihukum, menyeret Jendral Wiranto,
Feisal Tanjung, Syarwan Hamid, dan R. Hartono sebagai dalang penembakan,
pengibaran bendera setengah tiang pada 12 Mei mendatang di seluruh
Indonesia, dan Panitia Khusus Kasus Trisakti mesti dibubarkan. Menurut
para demonstran, pansus tak efektif bekerja dan hanya meminta
klarifikasi saja, tanpa pengusutan jelas.
Sementara itu, Kontras
melihat cenderung tak ada perubahan, semua proses masih melibatkan satu
politisisasi yang cederung menguat belakangan ini. Karena, masih kita
akui semua data berkas itu sudah berada di kejaksaan agung tinggal
disidik saja. Tapi ternyata kecenderungan mengabaikan kasus tragedi
Trisakti ‘98 masih sangat tinggi. Meskipun beberapa capaian secara
normatif sudah kita lakukan.
“Misalnya, kita sudah punya UUD tentang
HAM No. 39 Tahun 1999, UUD tentang Pengadilan HAM No. 26 Tahun 2000,
bahkan yang terbaru Kontras sudah menandatangani tentang Konvesi Anti
Penghilangan Paksa, tetapi kita belum merativikasinya. Jika sekedar
normatif-normatif begitu saja sama saja bohong, harus ada
implementasinya yang lebih kuat,” tegas Puri Kencana, Koordinator
Kontras.
Puri menuturkan, langkah yang dilakukan untuk penegakan HAM
di Negara Indonesia. Harus ada kemauan politik dari Susilo Bambang
Yudohyono (SBY) untuk segera mengefektifkan aparatnya-aparatnya yang
begerak di bidang hukum dan HAM, dalam hal ini misalnya, Drijen HAM di
bawah Kementrian Luar Negri (Kemendgri), kemudian ada Kejaksaan Agung
(Kejagung), Komnas HAM, dan kepolisian.
“Itu harus di perkuat
sinerginya. Jangan insistusi-isnsistusi negara berjalan masing-masing
tanpa tahu kita punya tujuan apa untuk penegakan HAM. Khususnya bagi
peristiwa masa lalu, kasus pelanggaran HAM di masa lalu, dan
pelanggaran-pelanggara aktual yang terjadi saat ini,” tandas Puri.
Kepercayaan dan rasa saling hormat menghormati sudah hilang dari masing-masing individu kehilangan ruhnya.
“Bagaimana
kita sesama warga memandang warga yang lain memberikan ruang aspirasi
kepada warga yang lain itu sudah kehilangan Ruhnya,” ungkap Puri.
Gunakan UU Statuta Roma
Tragedi
Trisakti sebenarnya bisa diusut sejak tahun 2002, sejak Pansus Trisakti
dibentuk oleh DPR. Namun indikasinya, Pansus tak berjalan sesuai dengan
apa yang diinginkan korban Tragedi Mei ‘98. Hasil kesimpulan Pansus
tersebut hanya kepada klarifikasi, padahal bukti sudah banyak menjurus
kepada oknum-oknum aparat yang diduga sebagai komandan, sebagai dalang
di belakang penembakan empat mahasiswa Trisakti.
Rio, Alumni
Trisakti menjelaskan, sebenarnya Pemerintah Indonesia sudah bisa
menyeret mereka ke kursi pesakitan di pengadilan. Namun political will
di Indonesia masih belum terlihat dari beberapa Presiden, era Habbie
hingga saat ini. Sempat mau dibongkar pada pemerintahan Presiden Gus
Dur, namun beliau dilengserkan.
“Political will dalam arti, jika
ingin mengusut tragedi Trisakti, nama kredibilitas Indonesia di mata
internasional akan jelek. Tetapi jika kita terus mengandalkan hukum
nasional sudah pasti tak akan bisa terbongkar,” ujar Rio.
Pengadilan
Adhoc pernah dibentuk cuma sebatas serimonial semata, hanya untuk
menyenangkan keluarga korban. Dalam prakteknya tetap tak berjalan.
Komnas HAM beberapa kali menyelidiki kasus HAM berat, tetapi tak
menujukan titik terang bagi keadilan para korban.
“Kooptasi dari
penguasa agar kasus Tragedi Mei 98 ini tak terbongkar secara
keseluruhan. Sejarah sengaja tak diluruskan. Dan dari segi aspek
internasional, jika terbukti Indonesia melakukan tindakan HAM berat,
apalagi sampai terbukti oknum aparat sebagai pelaku, pasti kredibilitas
Indonesia dalam hubungan internasional akan buruk,” tambah Rio.
Lebih
lajut Rio mengatakan, jika tetap mengandalkan hukum nasional, maka
kasus Tragedi Mei tidak akan pernah tuntas. Sangat disayangkan satu
konfensi internasional yang belum diratifikasi oleh Indonesia yaitu
Statuta Roma 98.
“Statuta Roma 98 mempunyai ruang untuk
menyelesaikan Tragedi Trisakti. Jika hanya mengandalkan hukum nasional
bisa dibilang lumpuh. Hukum nasional bisa berlaku kalau ada Political
will (itikat baik) dari pemerintah yang berkuasa. Apakah mau mengusut
atau tidak? Atau sengaja dibiarkan hingga ditelan bumi,” tegas Alumni
Trisakti ini.
Ada keinginan dari mahasiswa Trisakti untuk mendesak
DPR agar meratifikasi Statuta Roma, dan kontras sudah mengusulkan itu.
Statuta Roma suatu instrument hukum tentang kejahatan kemanusian yang
dilakukan oleh aparatur Negara. Tetapi dalam hal ini bukan lagi hukum
nasional yang berlaku, melaikan instrumen hukum internasional.
Di
situ pelaku dapat diseret ke International Criminal Court of Justice di
Den haag, seperti kasus Ruwanda, Kamboja, Yugoslavia saat terjadi
pembantaian masal oleh tentara Bosnia. Sebab menurutnya, hukum nasional
sudah tidak bisa mengatasi kasus HAM berat di negaranya, sehingga
ditarik ke internasional.
Indonesia bisa seperti itu jika hukum
nasional sudah tak mampu lagi untuk menyeret pelaku pelanggaran HAM
berat dan meratifikasi Statuta Roma, kemudian menyerahkan segalanya
dengan mekanisme internasional. Cuma salah satu hal yang paling penting
dalam kedaulatan negara, tidak satu pun bangsa di dunia ini yang rela
anak bangsanya di adili di hukum internasional, baik mental maupun
emosional.
“Memang kasus Tragedi ‘98 tak akan bisa diusut secara
tuntas. Karena rezim saat ini terbukti berusaha melupakan itu. Di depan
Istana Negara setiap Kamis ada Kamisan dan telah ribuan surat
dilayangkan ke Presiden untuk medesak penutasan Tragedi Trisakti.
Terlihat hanya sebagai paradox, Pemerintah memberi ruang kebebasan
berekspresi dan berpendapat, namun setelah masyarakat menutut kejelasan
hukum terkesan tidak serius menaganinya. Hingga sekarang aksi untuk
mengungkap kasus-kasus 98 masih terus berlangsung,” tandasnya.
Sementara
itu Rio melihat, Indonesia harus perlu mengingat sejarah, kalau sejarah
sudah ditutup-tutupi dianggap tidak ada, sama saja mematikan generasi
yang akan datang. Dan Indonesia tak akan bisa maju, sejarah sudah gelap
hanya untuk menutupi kredibilitas Indonesia di mata Internasional,
dampaknya penidasan pada rakyatnya sendiri.
Sumarsih dan orang tua
korban lainnya. Mereka sudah berkomitmen dengan keluarga korban dan akan
terus menantikan perjuangan gerakan 98, agenda reformasi, dan penegakan
supermasi hukum. Menurut Sumarsih, ketika pelanggaran HAM diatur dalam
undang-undang maka itu untuk dituntaskan. “Kami tak pernah berhenti
untuk melakukan sesuatu agar kasus pelanggaran HAM berat bisa dibawa ke
meja pengadilan sesuai UU yang berlaku,” terang Sumarsih.
“Seperti
kata (Alm) Munir, selama Presiden dipegang oleh Presiden yang terkait
dengan kasus pelanggaran HAM, jangan harap itu akan dituntaskan,” ungkap
Sumarsih. Tetapi keyakinan dan harapan agar kasus pelanggaran HAM berat
serta Tragedi Trisakti ‘98 dapat terselesaikan dan keluarga koraban
diberikan kepastian hukum yang berlaku bagi setiap warga negara
Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar